Kewartawanan atau jurnalisme (berasal dari kata journal), artinya catatan harian, atau
catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari istilah bahasa Latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan
pekerjaan jurnalistik.
Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan
publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda
asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat
kepada Eropa.
Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan
jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Aktivitas
Kewartawanan dapat dikatakan "coretan pertama
dalam sejarah". Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi
biasanya disunting sebelum diterbitkan.
Para wartawan seringkali berinteraksi dengan sumber
yang kadangkala melibatkan konfidensialitas.
Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pemberitaan (pers).
Aktivitas utama dalam kewartawanan adalah pelaporan
kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana
(dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan
dan akibat dari kejadian atau yang sedang hangat (trend). Kewartawanan
meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.
Sejarah
Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat
bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan
dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik
diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia
pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan,
koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang
mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi
kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik
Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilahTelevisi Republik
Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi
pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia
Raya dan Majalah Tempomerupakan dua contoh kentara dalam
sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis
Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke
penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul
kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers
Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32
Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar